Cari Selain Bismillah, Adakah?


BUKAN SEKEDAR KATA SAKTI

Hanya dengan menyebut nama Nya-lah pekerjaan menjadi lebih bernilai, mengubah sesuatu yang baik menjadi lebih barokah. Karena memang Alloh subhanahu wata’ala yang layak untuk diagungkan, sebab Dia-lah pula yang telah menciptakan segala apa yang ada di langit dan di bumi, segala bentuk makhluk dengan memberikan pengaturan berupa system yang biasa disebut sunatulloh. Dialah, Alloh yang telah memberikan pilihan untuk melengkapai diri sebagai manusia, yaitu memasang akal, karena itu sebagai yang terpilih dari pilihan yang telah diajukan kepada nabi Adam ‘alaihi wassalam.

Sebab “bismillah” bukan sekedar kata sakti, karena kondisi untuk benar-benar berucap bismillah harus sinkron. Bukan lagi sekedar terucap dari bibir, namun hati merasakan getaran sebuah kesaksian yang teramat dalam, beraktivitas hanya karena Alloh subhanahu wata’ala. Telinga berdengung akan pekikan yang tidak tersadar didengar dari daun telinga yang teramat rentan, sebab “bismillah” bukan sekedar kata sakti. Mata berlinang akan keindahan yang diberikan oleh penguasa langit dan bumi.

Begitulah seharusnya, dialog yang menjadi puncak kesadaran setiap manusia, berfikir mendalam dengan adanya pertimbangan dalam diri hasil dari rapat pleno pada setiap respon yang timbul dari soal-soal yang diujikan pada setiap desahan nafas manusia. Pada kesadaran penuh pula “argo” kehidupan harus dibayar, sejauh mana perjalanan dalam kesadaran itu, menjadi tolak ukur keberhasilan hidup di dunia ini.



ADAKAH YANG LEBIH BAIK

Adakah yang lebih baik dari memutuskan sesuatu setelah melakukan pertimbangan, menimbang dari data dan informasi yang ada sehingga keputusan itu benar-benar telah matang, meski tidak luput dari kekurangan.

Suatu ketika, kami disodorkan sebuah simulasi untuk menyelesaikan satu permasalahan, sebut saja, memindahkan bola dari tempat A ke tempat B, hanya diberkali stick, setiap orangnya. Masing-masing dari kami hanya diperbolehkan memegang satu ujung stick saja, pastinya kami beradu ide dan saling menyalahkan disaat kegagalan menimpa. Saling mengatur satu sama lain, sebab tidak ada kesadaran untuk memberikan kesempatan penerapan system kepemimpinan.

Jika kita terapkan dalam diri kita, maka akan terjadi kekacauan pada diri kita disaat merespon setiap kejadian yang menjadi ujian dalam kehidupan kita. Mata menginginkan bola merah sebab mata cenderung untuk melihat keindahan, sedangkan telinga menginginkan bola hijau sebab terdengar lebih menyejukan namun htai tidak dapat memutuskan sebab dia tidak ditempatkan pada jobdesc yang seharusnya, menjadi pemimpin pada setiap diri.

Apabila kita pahami seberapa penting dialog diri, maka adakah yang lebih baik dari berucap bismillah, kata lain dari bentuk penyerahan diri secara menyeluruh. Dalam rapat pleno tersebut, pastinya telinga akan memberikan saran bahwa yang baik dan benar adalah menjadi hamba sehamba-hambanya. Begitu juga mata akan memberikan data visual untuk lebih menyakinkan sebegitu besarnya kekuasaan Alloh subhanahu wata’ala sehingga ia akan mengusulkan kepada hati untuk berucap “bismillah”. Dan hati akan menimbang informasi serta data yang masuk, sampai kemudian terucap bismillah, terucap sinkron, telinga, mata, hati terucap oleh lisan dan diperlakukan seperti seharusnya.




DIALOG DIRI, INTERview

kemarin itu saya bercakap-cakap.
Bagaimana kabar hari ini? Saya jawab Alhamdulillah, saya sehat, masih diberikan kesempatan oleh Alloh untuk bisa memperbaiki diri.
Begitu ya, baguslah, mudah-mudahan selalu lebih baik. Apa agendamu hari ini? Saya jawab, hari ini rencananya pergi ke bogor, malamnya ada tamu untuk urusan kantin.
Memangnya harus ke bogor, kalau diundur besok bagaimana? Saya jawab, orang yang di bogor sudah telp saya sekitar satu pekan yang lalu, dan saya sudah menjanjikan hari ini saya akan kesana. Jadi saya pikir harus kesana, sebab saya sudah janji dan saya pikir lebih baik diselesaikan secepatnya urusan disana.
Oo begitu, baguslah, mudah-mudahan lancar, tapi kesana naik apa? Dengan siapa? Kalau sendirian pastinya akan terasa sangat melelahkan! Saya jawab, ya, kesana naik motor, biasanya juga begitu, tadi saya sudah hubungi beberapa teman untuk menemani saya kesana, tapi tidak ada yang bisa, terpaksa saya harus kesana sendiri.
Bogor jaraknya jauh dari Jakarta. Memangnya sanggup, apalagi motor belum ganti oli, kalau dijalan terjadi sesuatu bagaimana? Saya kembali menjawab, saya sudah persiapkan perihal itu.
Apa yang akan kamu lakukan setelah bertemu dengan orang itu? Lagipula apa untungnya? Kembali saya jawab, sebetulnya bertemu dengan orang itu ada dua point, menyelesaikan baik-baik urusan yang pernah terjalin, atau mengulang hubungan bisnis kedepannya, sesuai dengan kondisi saat ini. Karena saya pikir untuk apa jauh-jauh kesana kalau hanya sekedar satu hal yang dapat terselesaikan, kalau memang memungkinkan segalanya bisa dilakukan saat bertemu dengan orang itu, yang harus diselesaikan. Efektif dan proposional.

Suasana hening sejenak, percakapan terhenti sesaat.

Memangnya apa yang sedang kamu cari? Saya jawab, ada beberapa hal yang ingin saya capai, pada waktu dekat saya ingin tawaf. Karena sebenarnya saya selalu ingat perkataan seseorang kepada saya seusai saya menanyakan perihal, “kok bisanya, anda bertahan disini? Padahal anda mampu untuk mendapatkan lebih dari ini!” seseorang itu berkata, rahmat secara financial memang sekedar cukup, tapi bukan itu intinya, jika setiap berinteraksi menjadikan kita lebih dekat kepada Alloh Subhanahu wata’ala, maka saya merasa disinilah tempatnya. Keberkahan itu hadir berikut financial yang tidak terduga. Jadi kalau kondisi disini berubah, yaitu menjadikan diri saya menjauh dari Alloh subhanahu wata’ala, maka sudah pasti saya orang pertama yang akan keluar dari sini”. Untuk itu saya sedang mencari segala hal yang menjadikan saya lebih dekat kepada Alloh subhanahu wata’ala.
Memangnya ke bogor ada apa? saya jawab, disana saya bisa melihat jajaran bukit yang teramat indah bagi saya, cukup untuk bisa mengingatkan saya akan kebesaran Alloh subhanahu wata’ala.

Saya ingat betul, bagaimana perasaan saya saat pertama kali menyaksikan fenomena alam itu. Dan saya pikir tidak ada ruginya untuk kembali melihat jajaran perbukitan itu.

Begitulah, percakapan imajiner yang saya lakukan. Sehari sebelum pergi ke bogor.

Memang terkesan aneh, bisa jadi dianggap sudah tidak waras bila kita melakukan dialog dengan diri sendiri. Aneh, dikarenakan jarang orang yang melakukan dialog diri, menanyakan sesuatu kepada diri sendiri, kemudian menjawabnya. Bahkan lebih terkesan menjadi orang gila, berbicara tanpa ada lawan bicara.

Dialog imajiner bisa menjadi cara ampuh untuk mengetahui diri sendiri, bertanya dengan jujur, menjawab secara jujur, melakukan kejujuran dari pertanyaan yang jujur dan jawaban yang jujur pula, karena tidak sedikit orang yang telah mampu berdialog imajiner, berdialog diri, bertanya kepada dirinya sendiri kemudian dijawabnya sendiri namun perilakunya menyimpang dari jawaban dan pertanyaannya. Sangat disayangkan.